Perempuan yang dipaksakan untuk mengisi ruang yang tidak sesuai dengan kodratnya, menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan dalam kehidupan. Karena ketika perempuan dipaksa harus juga mengisi ruang yang diisi oleh laki-laki, sedangkan laki-laki secara kodrati juga tak mungkin untuk menggantikan posisi yang ditinggalkanoleh perempuan, maka ada lubang besar yang menyebabkan ketimpangan dalam sistem kehidupan. Inilah sumber malapetaka.
Banyaknya pengangguran dewasa ini, sebetulnya tak lebih karena lapangan kerja di semua lini sudah banyak yang diisi oleh perempuan. Kenakalan remaja sudah menjadi penyakit global, sebetulnya juga bermula dari tidak terurusnya anak di rumah sejak usia dini.
Pusingnya para negerawan Barat dewasa ini akan masa depan generasi bangsanya, juga akibat banyaknya perempuan yang sok-sokan mau menyaingi kodrat laki-laki, melakukan aborsi, tidak mau hamil, dan seterusnya. Kalau banyak permpuan yang aborsi dan tak mau hamil, maka 50 tahun ke depan sejumlah negara-negara di Barat akan menjadi panti jompo.
Lalu bangaimana cara kita mengobati virus yang juga sudah mewabah di Indonesia ini? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan formulasi pemahaman Islam tentang keseimbangan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga. Karena masalah yang menggejala secara merata di dalam kehidupan suatu bangsa pasti dimulai dari rumah, maka tentu setiap individu harus membenahi rumah masing-masing. Dalam hal ini, Islam menawarkan konsep rumah dengan atap taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Swt).
Membangun rumah tangga tentu dimulai dari pernikahan. Nah, untuk memulai itu, setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, harus menanamkan niat bahwa menikah itu ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jangan sampai menikah ditujukan untuk menggapai kepentingan duniawi yang semu; untuk mengejar kekayaan, popularitas, dan semacamnya. Dan, niat taqarrub dalm menikah hanya bisa diimplementasikan dengan sunah yang telah diteladankan Nabi Muhammad Saw.
Maka dalam hal ini, posisi laki-laki dan wanita dalam hal ini adalah sama. Laki-laki menikahi si wanita dengan tujuan supaya si wanita dapat menentramkan jiwa suaminya, menjaganya dari perbuatan haram, membantunya untuk semakin taat kepada Allah Swt. Serta bahu-membahu dalam membangun dalam rumah-tangga yang dipenuhi cahaya iman, sehingga kelak di Hari Kiamat bisa dibanggakan oleh Nabi Saw. Begitu pula niatan yang harus ditanamkan wanita saat merelakan dirinya dinikahi seorang laki-laki. Demikianlah gambaran rumah yang dibangun di bawah atap taqarrub.
Selanjutnya, saat menjalani aktivitas kerumah-tanggaan sehari-hari, suami dan istri mesti bahu-membahu dalam membangun rumah-tangga mereka. Posisi keduanya setara; tak ada yang lebih utama antara satu dengan yang lain. Karena dalam Islam, keutamaan diukur dengan takwa, bukan dengan pekerjaan dan profesi. Jadi, meski suami kerja di luar rumah, sementara istri setia menuggu di rumah, tak berarti suami lebih utama daripada istri.
Bahkan, kepada seorang sahabat perempuan yang protes kepada Nabi Saw. karena kaum Hawa tak diwajibkan jihad, haji sunah, salat Jumat, dan amal lain-lain yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, Nabi Saw. menjawab, “Kesetiaan kalian kepada suami kalian, pahalanya sudah menyamai itu semua.” Allahu akbar. Perempuan itu bertakbir. Betapa agungnya Islam dan betapa tingginya agama ini memposisikan martabat wanita.
Laki-laki pergi bekerja atau berjihad dalam rangka taqarrub dan mendapat pahala yang luar biasa besar, perempuan diam di rumahnya menanti setia kehadiran suaminya juga dalam rangka taqarrub dan mendapatkan pahala yang sama besarnya, meskipun bentuk pekerjaan dan profesinya berbeda.
Namun, dalam tatanan rumah tangga, Syariat telah menetapkan suami sebagai pemimpin bagi wanita. Dan, suami di sini memimpin rumah tangga bukan berdasarkan kehendak pribadi dan hawa nafsunya, namun memimpin berdasarkan ketentuan Allah Swt. untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Al-Qur’an menjelaskan (artinya): “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Allah Swt. telah melebihkan laki-laki dengan kekuatan akal, karakter kepemimpinan, dan ketegasan, sehingga dengan kelebihan yang dianugerahkan Allah Swt. ini, maka laki-laki memimpin wanita untuk meraih ridha Allah Swt. Sedangkan untuk wanita, Allah Swt. telah melebihkan mereka dengan memiliki kasih-sayang, kelembutan, kesabaran, shingga dengan kelebihan itu, Allah Swt. menjadikan wanita sebagai tempai berlabuh bagi suami dan anak-anaknya di rumah. Dari sinilah akan tercipta rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Jadi, kata-kata “melebihkan” yang terdapat dalam ayat di atas, tidak berarti laki-laki lebih utama dengan perempuan secara mutlak. Pemahamannya tidak demikian. Karena Sayidah Maryan jelas lebih utama dari ribuan lelaki di zamannya dan zaman-zaman setelahnya, dan bahwa Sayidah Fatimah az-Zahra’ lebih utama dibandingkan dengan ribuan laki-laki semacam kita. Faham keutamaan dalam Islam adalah, siapa yang beramal lebih banyak dengan keihklasan dan ketakwaan, maka dialah yang lebih utama.
Dalam hal ini, Ibnu Abbas r.a berkata: “Aku suka berhias untuk istriku, sebagiamana aku suka kalau istriku berhias untukku, karena Allah berfirman: ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.’ Tapi aku tidak ingin untuk menagih seluruh hakku kepada istriku, karena Allah Swt. berfirman: ‘Akan tetapi para suami mempunyai satu tigkatan kelebihan daripada istrinya’.” (QS al-Baqarah [2]: 228).
Nah, lihatlah, bagaimana Ibnu Abbas menafsiri “ tingkat kelebihan” seorang suami yang melebihi istri pada ayat di atas. Karena istri punya hak yang harus dipenuhi suami, maka suami akan memenuhi semuanya secara tuntas. Dan suami pun punya hak atas istri, tapi suami tidak akan menagih semua hak itu, karena jika hak itu ditagih semua, maka berarti derajat antara suami dan istri masih seimbang. Barangsiapa yang ingin derajatnya lebih tinggi, maka ia harus memberi lebih banyak.
Begitu pula dengan istri,. Pekerjaan memasak, cuci piring, menyapu dan sejenisnya, sebetulnya bukan tugas istri. Akan tetapi, masalahnya bukan saling melempar kewajiban dan berebut hak. Jika istri menginginkan derajat yang tinggi, maka ia mesti melakukan itu semua.
Dalam hal ini, ia tidak bekerja sebagai pelayan suami, tapi bekerja untuk taqarrub kepada Allah Swt. Itulah jawaban mengapa Sayidah Fatimah az-Zahra’, pemuka perempuan penghuni surga, mengerjakan semua pekerjaan rumahnya sendiri, tanpa pembantu, padahal beliau paling berhak untuk mendapatkan pembantu. (Buletin SIDOGIRI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar