“Kalaupun dia tidak memiliki kebutuhan biologis, tetap sangat berat baginya untuk hidup sebatang kara di dalam rumah,” dawuh Imam Ghazali dalam Ihya’ ketika berbicara mengenai bangunan rumah tangga ideal dalam pandangan syariat dan tasawuf.
Istri adalah pendamping hidup yang di anugerahi keterampilan untuk menyelesaikan banyak hal yang tidak akrab dengan suami. Misalnya, berbagai macam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.
Penanggung jawab formal dari semua itu secara syariat adalah suami. Padahal, suami pada umumnya tidak memiliki keterampilan untuk menangani tugas-tugas tersebut. Kenapa demikian? Boleh jadi, agar istri punya kesempatan untuk meraih pahala besar, dengan berbakti, menjadi pembantu agama bagi istrinya.
“Dengan jalan ini, istri salehah merupakan pembantu agama bagi suami di rumah. Tanpa peran istri, akan banyak hal yang banyak mengganggu hati dan membuat hidupnya menjadi serba menyesakkan.” Demikian dawuh Imam Ghazali dalam Ihya’. Terkait dengan itu, beliau mengutip pernyataan abu Sulaiman ad-Darani, “Istri salehah tidak termasuk urusan duniawi, karena dia justru membuat terfokus untuk akhirat.
Ada beberapa tokoh sufi yang memiliki istri yang juga sufi, sehingga aura akhirat bersinar sangat benderang dari atap rumah tangganya, dan nuansa duniawi nyaris berada pada titik nol.
Misalnya,yang sangat terkenal dalam khasanah tasawuf, adalah pasangan Syekh Ahmad bin Abil Hawari dengan Rabiah asy-Syamiyah.
Mereka hidup di Damaskus pada awal Abad Ketiga Hijriyah. Mereka sama-sama dikenal sebagai tokoh sufi. Rabiah dikenal dengan pengabdian sufistiknya terhadap sang suami. Dalam kisah-kisah pengabdian Rabiah bertebaran kilau-kilau religius yang mempesona.
Secara fisik Rabiah sering sibuk di dapur, tapi hati dan pikirannya berisi Allah. Maka, konon, saat menyuguhkan masakannya kepada sang suami, Rabiah mempersilahkan dengan kalimat, “Suamiku, makanlah. Makanan ini tidaklah masak melainkan dengan kalimat tasbih.”
Rabiah sering membuatkan masakan-masakan kejantanan, lalu memberikan pakaian-pakaian yang bagus dan harum kepada Ibnu Abil Hawari. Setelah itu ia bilang, “Suamiku, sekarang datangilah istrimu yang lain. Bawalah seluruh semangat kejantananmu.”
Meski Rabiah sering bilang seperti itu, bukan berarti tak ada cinta yang bersemai di hatinya. Ia sangat mencintai Ibnu Abil Hawari, tapi bukan cinta asmara, melainkan cinta karena ikatan kebenaran. “Aku sangat mencintaimu, tapi bukan cinta istri kepada suaminya, melainkan cinta orang-orang yang saling bersaudara.” katanya kepada Ibnu Abil Hawari.
Hati dan pikiran Rabiah memang selalu senantiasa tertuju kepada Allah. Dia tidak memiliki kepentingan duniawi atas suaminya. Ahmad bin Abil Hawari pernah bercerita: suatu ketika aku memanggil Rabiah, tapi dia tidak menjawab. Ia baru menjawab beberapa saat kemudian. Ia berkata “Suamiku, hatiku sedang dikuasai rasa gembira dengan Allah. Akhirnya aku tak mampu menjawab panggilanmu.”
Jauh sebelum Ibnu Abil Hawari, ada Shilah bin Asyim, sufi masyhur dari kalangan tabiin yang membangun rumah tangga dengan Muadzah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan di Basrah. Saat malam pertama, sepupu Shilah menyediakan pemandian air panas untuk mereka dan menyiapkan kamar pengantin yang indah dan harum. Tapi, yang terjadi, Shilah dan Muadzah justru melewatkan malam penting itu dengan beribadah semalam suntuk. Mereka salat hingga pagi tiba.
Mengetahui akan hal itu, sepupu Shilah sangat kecewa. Ia datang menghardiknya. Maka, Shilah bin Hasyim angkat bicara, “Tadi malam engkau sediakan untukku pemandian yang membuatku mengingat neraka. Lalu, kau masukkan aku ke kamar yang membuatku mengingat surga. Maka, surga dan neraka itu memenuhi pikiranku hingga pagi hari.”
Dari perkawinan itu, Shilah dan Muadzah dikaruniai seorang putra. Ketika ia sudah dewasa, Shilah membawanya mengikuti sebuah perang. Mereka sama-sama gugur di sana. Mendengar hal itu, perempuan-perempuan di Basrah mendatangi rumah Muadzah untuk menyampaikan belasungkawa. Muadzah menyambut mereka. “Aku ucapkan selamat datang jika kalian ke sini untuk mengucapkan selamat kepadaku.
Kalau bukan untuk itu, pulanglah kalian… Setelah ini aku tidak menyukai hidup melainkan sebagai perantara untuk mendekat kepada Allah. Semoga Allah mengumpulkan aku dengan suami dan anakku di surga.”
Itulah pernik kisah dalam rumah tangga ideal bagi para sufi. Sebenarnya, untuk focus kepada Allah, tak sedikit tokoh-tokoh sufi yang memilih hidup membujang. Tapi, merekapun mungkin akan menikah jika mendapatkan istri seperti itu.
Istri yang akan benar-benar menjadi pendukung, pemberi semangat, teman dan pembantu bagi suami agar mencurahkan seluruh waktunya untuk Allah. Istri yang membuat mereka semakin leluasa mencurahkan hati dan pikirannya untuk akhirat, seperti telah ditegaskan oleh Abu Sulaiman ad-Darani tentang istri salehah. Yâ Habbadzâh!
Sumber : Sidogiri
Istri adalah pendamping hidup yang di anugerahi keterampilan untuk menyelesaikan banyak hal yang tidak akrab dengan suami. Misalnya, berbagai macam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.
Penanggung jawab formal dari semua itu secara syariat adalah suami. Padahal, suami pada umumnya tidak memiliki keterampilan untuk menangani tugas-tugas tersebut. Kenapa demikian? Boleh jadi, agar istri punya kesempatan untuk meraih pahala besar, dengan berbakti, menjadi pembantu agama bagi istrinya.
“Dengan jalan ini, istri salehah merupakan pembantu agama bagi suami di rumah. Tanpa peran istri, akan banyak hal yang banyak mengganggu hati dan membuat hidupnya menjadi serba menyesakkan.” Demikian dawuh Imam Ghazali dalam Ihya’. Terkait dengan itu, beliau mengutip pernyataan abu Sulaiman ad-Darani, “Istri salehah tidak termasuk urusan duniawi, karena dia justru membuat terfokus untuk akhirat.
Ada beberapa tokoh sufi yang memiliki istri yang juga sufi, sehingga aura akhirat bersinar sangat benderang dari atap rumah tangganya, dan nuansa duniawi nyaris berada pada titik nol.
Misalnya,yang sangat terkenal dalam khasanah tasawuf, adalah pasangan Syekh Ahmad bin Abil Hawari dengan Rabiah asy-Syamiyah.
Mereka hidup di Damaskus pada awal Abad Ketiga Hijriyah. Mereka sama-sama dikenal sebagai tokoh sufi. Rabiah dikenal dengan pengabdian sufistiknya terhadap sang suami. Dalam kisah-kisah pengabdian Rabiah bertebaran kilau-kilau religius yang mempesona.
Secara fisik Rabiah sering sibuk di dapur, tapi hati dan pikirannya berisi Allah. Maka, konon, saat menyuguhkan masakannya kepada sang suami, Rabiah mempersilahkan dengan kalimat, “Suamiku, makanlah. Makanan ini tidaklah masak melainkan dengan kalimat tasbih.”
Rabiah sering membuatkan masakan-masakan kejantanan, lalu memberikan pakaian-pakaian yang bagus dan harum kepada Ibnu Abil Hawari. Setelah itu ia bilang, “Suamiku, sekarang datangilah istrimu yang lain. Bawalah seluruh semangat kejantananmu.”
Meski Rabiah sering bilang seperti itu, bukan berarti tak ada cinta yang bersemai di hatinya. Ia sangat mencintai Ibnu Abil Hawari, tapi bukan cinta asmara, melainkan cinta karena ikatan kebenaran. “Aku sangat mencintaimu, tapi bukan cinta istri kepada suaminya, melainkan cinta orang-orang yang saling bersaudara.” katanya kepada Ibnu Abil Hawari.
Hati dan pikiran Rabiah memang selalu senantiasa tertuju kepada Allah. Dia tidak memiliki kepentingan duniawi atas suaminya. Ahmad bin Abil Hawari pernah bercerita: suatu ketika aku memanggil Rabiah, tapi dia tidak menjawab. Ia baru menjawab beberapa saat kemudian. Ia berkata “Suamiku, hatiku sedang dikuasai rasa gembira dengan Allah. Akhirnya aku tak mampu menjawab panggilanmu.”
Jauh sebelum Ibnu Abil Hawari, ada Shilah bin Asyim, sufi masyhur dari kalangan tabiin yang membangun rumah tangga dengan Muadzah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan di Basrah. Saat malam pertama, sepupu Shilah menyediakan pemandian air panas untuk mereka dan menyiapkan kamar pengantin yang indah dan harum. Tapi, yang terjadi, Shilah dan Muadzah justru melewatkan malam penting itu dengan beribadah semalam suntuk. Mereka salat hingga pagi tiba.
Mengetahui akan hal itu, sepupu Shilah sangat kecewa. Ia datang menghardiknya. Maka, Shilah bin Hasyim angkat bicara, “Tadi malam engkau sediakan untukku pemandian yang membuatku mengingat neraka. Lalu, kau masukkan aku ke kamar yang membuatku mengingat surga. Maka, surga dan neraka itu memenuhi pikiranku hingga pagi hari.”
Dari perkawinan itu, Shilah dan Muadzah dikaruniai seorang putra. Ketika ia sudah dewasa, Shilah membawanya mengikuti sebuah perang. Mereka sama-sama gugur di sana. Mendengar hal itu, perempuan-perempuan di Basrah mendatangi rumah Muadzah untuk menyampaikan belasungkawa. Muadzah menyambut mereka. “Aku ucapkan selamat datang jika kalian ke sini untuk mengucapkan selamat kepadaku.
Kalau bukan untuk itu, pulanglah kalian… Setelah ini aku tidak menyukai hidup melainkan sebagai perantara untuk mendekat kepada Allah. Semoga Allah mengumpulkan aku dengan suami dan anakku di surga.”
Itulah pernik kisah dalam rumah tangga ideal bagi para sufi. Sebenarnya, untuk focus kepada Allah, tak sedikit tokoh-tokoh sufi yang memilih hidup membujang. Tapi, merekapun mungkin akan menikah jika mendapatkan istri seperti itu.
Istri yang akan benar-benar menjadi pendukung, pemberi semangat, teman dan pembantu bagi suami agar mencurahkan seluruh waktunya untuk Allah. Istri yang membuat mereka semakin leluasa mencurahkan hati dan pikirannya untuk akhirat, seperti telah ditegaskan oleh Abu Sulaiman ad-Darani tentang istri salehah. Yâ Habbadzâh!
Sumber : Sidogiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar