Partisipasi wanita di luar rumah dewasa ini telah menjadi
tata-sosial yang tak lagi bisa disangkal. Semakin hari konsentrasinya
semakin meninggi.
Sebagian percaya bahwa ini adalah tren positif bagi terangkatnya nilai-nilai persamaan, yang pada gilirannya akan mengantarkan bangsa pada taraf kemakmuran yang lebih bermartabat. Namun tidak sedikit yang merasa gundah, karena faktanya gerakan kaum perempuan umumnya menyimpang dari aturan (syariat). Bagaimana sebenarnya duduk persoalannya?
Anjuran Bekerja
Pada dasarnya Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja. Dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan Hadis, terdapat penjelasan-penjelasan tegas mengenai anjuran-anjuran itu, di antaranya sebagai berikut:
“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah [62]: 10).
Mengulas ayat ini, al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan anjuran untuk mencari kebutuhan hidup, seperti berdagang, bercocok tanam, berternak, dls.
Ayat lain yang menjelaskan keutamaan bekerja adalah:
“Dialah yang menjadikan langit dan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS al-Mulk [67]: 15).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memotivasi kita untuk bekerja. Karena itu, Mahmud al-Alusi berkesimpulan jika ayat ini menjadi dalil bagi kesunatan bekerja.
Ayat lain yang memberi penegasan serupa adalah al-Baqarah ayat 198, an-Naml ayat 20, an-Naba’ ayat 11.
Sedangkan Hadis yang memberikan anjuran tegas untuk bekerja cukup banyak, antara lain adalah sebagai berikut:
“Tidak ada makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang daripada hasil sendiri, dan sesungguhnya Nabi Dawud AS makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).
Mengomentari Hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa Hadis ini menjadi dalil akan keutamaan bekerja, dan penghasilan dari tangan (jerih payah) sendiri lebih baik daripada hasil tangan orang lain.
Kesimpulan ini juga diperkuat dengan banyak Hadis yang lain, di antaranya adalah:
“Sesungguhnya paling baik makanan yang dimakan oleh seseorang yang dihasilkan oleh kasabnya sendiri, dan sesungguhnya anak merupakan bagian dari kasabnya.” (HR. Abi Daud dan Ibnu Majah).
Dari uraian ayat al-Qur’an dan Hadis di atas para ulama berkesimpulan bahwa hukum bekerja pada dasarnya adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak. Akan tetapi bekerja bisa sunat jika bertujun mencapai kebaikan, seperti menolong orang lain. Bahkan bekerja bisa menjadi wajib jika untuk memenuhi kewajiban, seperti untuk menafkahi keluarga.
Ketetapan hukum ini tidak hanya berlaku untuk orang laki-laki, tapi juga mencakup terhadap perempuan. Perempuan juga memiiki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial., seperti amar ma’ruf nahi munkar, yang secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 71.
Bagaimana dengan Wanita?
Hikmah disyariatkannya bekerja adalah agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sandang, pangan maupun papan. Ketika kebutuhan-kebutuhan itu sudah terpenuhi, maka hukum bekerja menjadi mubah.
Selanjutnya, fikih memberikan aturan yang membebani orang laki-laki untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Itu artinya, biaya hidup seorang perempuan (istri atau anak) merupakan beban yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suami atau ayah/saudara). Karena kebutuhan hidup kaum hawa telah dibebankan pada pihak laki-laki, maka hukum wanita bekerja menjadi mubah.
Nah, karena biaya hidup orang perempuan merupakan tanggungan suami, tentu saja suami harus bekerja (mencari nafkah) guna menunaikan kewajibannya. Di sinilah kemudian fikih mewajibkan perempuan yang telah bersuami untuk mengurusi rumah dan hak-hak suami, menjaga serta merawat anak-anaknya dengan baik, dls. Sedangkan perempuan yang tidak bersuami dianjurkan selalu berdiam di rumah serta melayani kedua orang tuanya.
Dengan adanya pembagian tugas ini, aturan Islam sejatinya mencita-citakan terjadinya adanya keseimbangan yang benar-benar seimbang. Terjadinya interaksi yang berkesimbangan; saling melengkapi, bahu-membahu dalam memenuhi hajat hidup bersama, dengan pemilihan tugas yang berkesesuaian dengan kodrat dan fitrah masing-masing, menggambarkan rahmat tiada tara, yang dicurahkan oleh Allah SWT melalui syariat-Nya.
Kondisi Mendesak
Syariat Islam adalah aturan yang mudah dan memudahkan. Ia diberlakukan bukan untuk mempersulit dan merumitkan. Maka, dalam konteks ini, sekalipun kaum hawa tidak diperkenankan bekerja di luar rumah dalam kondisi normal, namun dalam kondisi mendesak (darurat), tentu hal ini diperbolehkan.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan akan kebolehan hal ini, baik dari al-Qur’an maupun Hadis. Di antara ayat al-Qur’an yang menjelaskan kebolehannya adalah ayat yang menceritakan dua putri Nabi Syuaib AS yang telah diizini mengambil air untuk minuman hewan ternaknya.
Hal demikian, dilakukan karena Nabi Syuaib AS sendiri sudah lanjut usia dan tidak bisa menggembala ternaknya:
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat seperti itu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.’.” (QS al-Qashash [28]: 23).
Imam ar-Razi menjelaskan bahwa Nabi Syuaib AS yang merelakan putrinya menggembala ternak keluar rumah adalah karena terpakasa, yakni keadaan Nabi Syuaib AS sendiri sudah lanjut usia, dan tidak ada orang lelaki yang mewakili beliau untuk melakukan pekerjaan itu.
Sementara dalil dari Hadis adalah riwayat Imam al-Bukhari mengenai Asma’ binti Abi Bakar, istri Zubair bin al-Awwam RA. Bahwa ketika Zubair bin al-Awwam RA menikahi Asma’, ia sama sekali tidak mempunyai harta kekayaan apapun, sehingga waktu itu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah Asma’, dan ternyata langkah Asma’ ini tidak diingkari oleh Nabi SAW, sampai kemudian Abu Bakar RA memberi seorang pelayan untuk membantu dan meringankan pekerjaan Asma’.
Mengomentari Hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa motif utama yang menyebabkan pekerjaan rumah tangga Zubair dilakukan istrinya, Asma’, adalah karena Zubair berkonsentrasi penuh pada tugas-tugas dari Nabi SAW, yakni berjihad, sehingga beliau tidak berkesempatan mengurusi rumah tangganya. Karena itulah, Imam an-Nawawi berkesimpulan bahwa Hadis ini menjadi bukti bagi diperbolehkannya orang perempuan bekerja di luar rumah dalam keadaan terpakasa.
Temasuk kebutuhan mendesak yang memperbolehkan perempuan bekerja di luar rumah, adalah melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang perempuan, seperti menjadi bidan. Sebab sejak zaman Rasulullah SAW, profesi ini sudah dikenal, seperti Sayidah Khadijah ketika hendak melahirkan, yang menjadi bidan kala itu adalah Salma istri Abi Rafi’.
Namun demikian, kendati seorang perempuan boleh bekerja di luar rumah dalam kondisi-kondisi tertentu, syariat Islam juga menetapkan rambu-rambu yang harus ditaati, sebagai berikut:
• Mendapat izin dari orang tua atau suami
• Keluar bersama mahram
• Menutup aurat dengan sempurna
• Tidak pamer perhiasan dan kecantikan
• Tidak mengeluarkan suara yang mengundang syahwat
• Menjaga pandangan
• Tidak menimbulkan fitnah
• Tidak terjadi ikhtilath (campur baur dengan lelaki yang bukan mahram)
Ulama fikih mendefinisikan ikhtilath dengan suatu keadaan apabila beberapa lelaki dan perempuan bukan mahram bertemu di satu tempat, kemudian terjadi interaksi antara mereka. Interaksi ini bisa saja berupa percakapan, pandangan, atau isyarat yang bisa dipahami. Dengan demikian, ikhtilath bisa terjadi kapan dan di mana saja, baik secara berencara maupun tidak. (Buletin SIDOGIRI).
Sebagian percaya bahwa ini adalah tren positif bagi terangkatnya nilai-nilai persamaan, yang pada gilirannya akan mengantarkan bangsa pada taraf kemakmuran yang lebih bermartabat. Namun tidak sedikit yang merasa gundah, karena faktanya gerakan kaum perempuan umumnya menyimpang dari aturan (syariat). Bagaimana sebenarnya duduk persoalannya?
Anjuran Bekerja
Pada dasarnya Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja. Dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan Hadis, terdapat penjelasan-penjelasan tegas mengenai anjuran-anjuran itu, di antaranya sebagai berikut:
“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah [62]: 10).
Mengulas ayat ini, al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan anjuran untuk mencari kebutuhan hidup, seperti berdagang, bercocok tanam, berternak, dls.
Ayat lain yang menjelaskan keutamaan bekerja adalah:
“Dialah yang menjadikan langit dan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS al-Mulk [67]: 15).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memotivasi kita untuk bekerja. Karena itu, Mahmud al-Alusi berkesimpulan jika ayat ini menjadi dalil bagi kesunatan bekerja.
Ayat lain yang memberi penegasan serupa adalah al-Baqarah ayat 198, an-Naml ayat 20, an-Naba’ ayat 11.
Sedangkan Hadis yang memberikan anjuran tegas untuk bekerja cukup banyak, antara lain adalah sebagai berikut:
“Tidak ada makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang daripada hasil sendiri, dan sesungguhnya Nabi Dawud AS makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).
Mengomentari Hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa Hadis ini menjadi dalil akan keutamaan bekerja, dan penghasilan dari tangan (jerih payah) sendiri lebih baik daripada hasil tangan orang lain.
Kesimpulan ini juga diperkuat dengan banyak Hadis yang lain, di antaranya adalah:
“Sesungguhnya paling baik makanan yang dimakan oleh seseorang yang dihasilkan oleh kasabnya sendiri, dan sesungguhnya anak merupakan bagian dari kasabnya.” (HR. Abi Daud dan Ibnu Majah).
Dari uraian ayat al-Qur’an dan Hadis di atas para ulama berkesimpulan bahwa hukum bekerja pada dasarnya adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak. Akan tetapi bekerja bisa sunat jika bertujun mencapai kebaikan, seperti menolong orang lain. Bahkan bekerja bisa menjadi wajib jika untuk memenuhi kewajiban, seperti untuk menafkahi keluarga.
Ketetapan hukum ini tidak hanya berlaku untuk orang laki-laki, tapi juga mencakup terhadap perempuan. Perempuan juga memiiki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial., seperti amar ma’ruf nahi munkar, yang secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 71.
Bagaimana dengan Wanita?
Hikmah disyariatkannya bekerja adalah agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sandang, pangan maupun papan. Ketika kebutuhan-kebutuhan itu sudah terpenuhi, maka hukum bekerja menjadi mubah.
Selanjutnya, fikih memberikan aturan yang membebani orang laki-laki untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Itu artinya, biaya hidup seorang perempuan (istri atau anak) merupakan beban yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suami atau ayah/saudara). Karena kebutuhan hidup kaum hawa telah dibebankan pada pihak laki-laki, maka hukum wanita bekerja menjadi mubah.
Nah, karena biaya hidup orang perempuan merupakan tanggungan suami, tentu saja suami harus bekerja (mencari nafkah) guna menunaikan kewajibannya. Di sinilah kemudian fikih mewajibkan perempuan yang telah bersuami untuk mengurusi rumah dan hak-hak suami, menjaga serta merawat anak-anaknya dengan baik, dls. Sedangkan perempuan yang tidak bersuami dianjurkan selalu berdiam di rumah serta melayani kedua orang tuanya.
Dengan adanya pembagian tugas ini, aturan Islam sejatinya mencita-citakan terjadinya adanya keseimbangan yang benar-benar seimbang. Terjadinya interaksi yang berkesimbangan; saling melengkapi, bahu-membahu dalam memenuhi hajat hidup bersama, dengan pemilihan tugas yang berkesesuaian dengan kodrat dan fitrah masing-masing, menggambarkan rahmat tiada tara, yang dicurahkan oleh Allah SWT melalui syariat-Nya.
Kondisi Mendesak
Syariat Islam adalah aturan yang mudah dan memudahkan. Ia diberlakukan bukan untuk mempersulit dan merumitkan. Maka, dalam konteks ini, sekalipun kaum hawa tidak diperkenankan bekerja di luar rumah dalam kondisi normal, namun dalam kondisi mendesak (darurat), tentu hal ini diperbolehkan.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan akan kebolehan hal ini, baik dari al-Qur’an maupun Hadis. Di antara ayat al-Qur’an yang menjelaskan kebolehannya adalah ayat yang menceritakan dua putri Nabi Syuaib AS yang telah diizini mengambil air untuk minuman hewan ternaknya.
Hal demikian, dilakukan karena Nabi Syuaib AS sendiri sudah lanjut usia dan tidak bisa menggembala ternaknya:
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat seperti itu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.’.” (QS al-Qashash [28]: 23).
Imam ar-Razi menjelaskan bahwa Nabi Syuaib AS yang merelakan putrinya menggembala ternak keluar rumah adalah karena terpakasa, yakni keadaan Nabi Syuaib AS sendiri sudah lanjut usia, dan tidak ada orang lelaki yang mewakili beliau untuk melakukan pekerjaan itu.
Sementara dalil dari Hadis adalah riwayat Imam al-Bukhari mengenai Asma’ binti Abi Bakar, istri Zubair bin al-Awwam RA. Bahwa ketika Zubair bin al-Awwam RA menikahi Asma’, ia sama sekali tidak mempunyai harta kekayaan apapun, sehingga waktu itu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah Asma’, dan ternyata langkah Asma’ ini tidak diingkari oleh Nabi SAW, sampai kemudian Abu Bakar RA memberi seorang pelayan untuk membantu dan meringankan pekerjaan Asma’.
Mengomentari Hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa motif utama yang menyebabkan pekerjaan rumah tangga Zubair dilakukan istrinya, Asma’, adalah karena Zubair berkonsentrasi penuh pada tugas-tugas dari Nabi SAW, yakni berjihad, sehingga beliau tidak berkesempatan mengurusi rumah tangganya. Karena itulah, Imam an-Nawawi berkesimpulan bahwa Hadis ini menjadi bukti bagi diperbolehkannya orang perempuan bekerja di luar rumah dalam keadaan terpakasa.
Temasuk kebutuhan mendesak yang memperbolehkan perempuan bekerja di luar rumah, adalah melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang perempuan, seperti menjadi bidan. Sebab sejak zaman Rasulullah SAW, profesi ini sudah dikenal, seperti Sayidah Khadijah ketika hendak melahirkan, yang menjadi bidan kala itu adalah Salma istri Abi Rafi’.
Namun demikian, kendati seorang perempuan boleh bekerja di luar rumah dalam kondisi-kondisi tertentu, syariat Islam juga menetapkan rambu-rambu yang harus ditaati, sebagai berikut:
• Mendapat izin dari orang tua atau suami
• Keluar bersama mahram
• Menutup aurat dengan sempurna
• Tidak pamer perhiasan dan kecantikan
• Tidak mengeluarkan suara yang mengundang syahwat
• Menjaga pandangan
• Tidak menimbulkan fitnah
• Tidak terjadi ikhtilath (campur baur dengan lelaki yang bukan mahram)
Ulama fikih mendefinisikan ikhtilath dengan suatu keadaan apabila beberapa lelaki dan perempuan bukan mahram bertemu di satu tempat, kemudian terjadi interaksi antara mereka. Interaksi ini bisa saja berupa percakapan, pandangan, atau isyarat yang bisa dipahami. Dengan demikian, ikhtilath bisa terjadi kapan dan di mana saja, baik secara berencara maupun tidak. (Buletin SIDOGIRI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar