Hukum Pernikahan
Hukum Pernikahan dalam Islam
Dalam pembahasan ini kita akan berbicara
tentang hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum
pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah,
terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah
saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum
pernikahan yang haram untuk dilakukan.
Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan
permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu
persatu.
1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial
dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa
menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan
cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam
jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang
wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut
tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT
pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu
kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang
sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena
memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan
kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah,
namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya
untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih
dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah
melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat
Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menikahlah, karena aku
berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi
seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau
menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk
menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan
hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon
istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum
tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan
dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu
dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan
seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya
haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap
menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang
mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan
laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan
pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang
punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang
tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi.
Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara
waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan
untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon
istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih
dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami,
melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak
wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan
ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih
besar.
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka
bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera
menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah
mubah.
syarat Pernikahan
Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits
Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur
Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan
termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah
(boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi
kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang
dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan
membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau
seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi
pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai
kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan),
Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani
(mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan
atau tidak mampu menghidupu keluarganya.
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
(1) persetujuan kedua belah pihak,
(2) mahar (mas kawin),
(3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah
atau batal demi hukum.
Sedangkan rukun perkawinan adalah :
(1) calon suami,
(2) calon isteri,
(3) wali,
(4) saksi dan
(5) ijab kabul.
Ringkasan Tata Cara Perkawinan Dalam Islam
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi
kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak
dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam,
walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Termasuk tata cara perkawinan
Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Dan Islam mengajak untuk meninggalkan
tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat
yang berkepanjangan dan melelahkan serta bertentangan dengan syariat Islam.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan
berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih. Dalam kesempatan kali ini
redaksi berupaya menyajikannya secara singkat dan seperlunya. Adapun Tata Cara
atau Runtutan Perkawinan Dalam Islam adalah sebagai berikut:
I. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang
terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam
hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh
orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang
akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
II. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang
dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
III. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan
dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti
makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Makanan paling
buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja
untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang
tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
(HR: [shahih] Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih,
baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang artinya: “Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan
jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (HR: [shahih] Abu
Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Hukum Nikah Dalam Keadaan Hamil –
Mengingat banyak terjadinya kasus para wanita yang hamil diluar nikah (wal
‘iyyadzubillah) maka kami menganggap sangat penting untuk membahas masalah ini
dengan lebih terperinci dalam kajian Bab Nikah. Bagaimanakah hukumnya
pernikahan wanita yang dilaksanakan dalam keadaan hamil itu?yaitu setelah hamil
baru kedua orantuanya ”terpaksa” menikahkannya dan permasalahan lain yang
semisalnya.Tentu jadi membuat ukhti muslimah semakin penasaran ingin mengetahui
penjelasannya.Nah, marilah kita simak bersama,….!
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang
dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus
cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus
bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai
berikut :
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu , Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua , Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak
terjadi di zaman ini �Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum
muslimin dari dosa terkutuk ini.Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh
suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah
sampai ia melahirkan
sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
”Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya”. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan
nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
”Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum
habis ‘iddahnya”. (QS. Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
”Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya”.
Kemudian beliau berkata : ”Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah
sah pada masa ‘iddah”.
Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263
dan Zadul Ma’ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas
karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya.
Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim
Al-Khabir,masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
1. Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak,
dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat
dikalangan para ‘ulama.Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam
pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat.
Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu
‘Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat.
Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan
disyaratkan untuk bertaubat.Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al-Fatawa 32/109 :
”Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang
menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar
tanpa keraguan”. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla
:”Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal
tersebut atas kaum mu`minin”. (QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata :
”Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang
dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama)
‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : ”Maka saya datang
kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata : ”Ya
Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq ?”. Martsad berkata : ”Maka beliau diam, maka
turunlah (ayat) : ”Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku
lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : ”Jangan kamu nikahi dia”.
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66
dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam
At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam
Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina.
Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah
bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut
berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”.
(Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh
jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur
ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya)
ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna
jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam
Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan
pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa
Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny
9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
2/582-585.
Catatan :
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat
perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak
berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam
Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam
Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat
ini.Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata :
”Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan
memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak
halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk
mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam
merayunya untuk berzina ?”.
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia
bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber’azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit
dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.Dan bukan disini tempat
menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat
bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :
Pertama : Wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman,
Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib ‘iddah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan
antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk
melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’
dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan
boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang
menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai
istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau
sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalamkeadaanhamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah
berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang
Authos :
”Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula)
yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”.
(HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212,
Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy
dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin
‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini
mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga
dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa`
no. 187).
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia
menyiramkan airnya ke tanaman orang lain”. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158,
At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah
1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482
dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam : ”Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir
melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : ”Barangkali orang itu ingin
menggaulinya ?”. (Para sahabat) menjawab : ”Benar”. Maka Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : ”Sungguh saya telah berkehendak
untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia
mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia
memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya”.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : ”Dalam (hadits) ini ada dalil yang
sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena
suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan
orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada
kesamar-samaran-pent.) atau karena zina”.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan
pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy,
Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu
A’lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil
karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi
perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman
Allah ‘Azza Wa Jalla :
”Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya”. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya
diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang
berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan
satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama
dengan ‘iddah perempuan yang ditalak. Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan
Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid.
Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id
Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam
Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana
dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :
”Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu)
selama tiga kali quru`(haid)”. (QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua
syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya
dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai
berikut :
� kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
� kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali
semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh
8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah
Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad
5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah
Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil
karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai
melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah
akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah
dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan
akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi
hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam,
demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : ”Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya
kembali setelah lepas masa ‘iddah?”.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para ‘ulama. Jumhur
(kebanyakan) ‘ulama berpendapat : ”Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya
bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya”.
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan
telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan
atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut.
Pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi
belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan
pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam
tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik
bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat
yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas
iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan
keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua
tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd
kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam
dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak
tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat
dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini
sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak
mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
”Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil,
nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan)
maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka
berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”.
(HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm
5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb
sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin
Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy
dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no.
2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo
no. 700, Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy
dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837,
Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny
3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88,
As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654
dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no.1840).
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa
‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits
mencakup semuanya.Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul
Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia
melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman
Allah Ta’ala :
”Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan
penuh kerelaan” (QS. An-Nisa` : 4).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
”Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu
kewajiban”.(QS.An-Nisa` : 24)
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.
Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494,
Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma’ad 5/104-105.
dikutip Dari Majalah An-Nashihah Vol.5 Th.1/1424 H/2004 M rubrik ”Masalah
Anda” diasuh oleh Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi; hal.2-6 . diedit oleh :
Ummu raihanah
Nikah siri
Nika sirih adalah aturan agama islam sesuai dengan syarat niakh yaitu :
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
(1) persetujuan kedua belah pihak,
(2) mahar (mas kawin),
(3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah
atau batal demi hukum.
Sedangkan rukun perkawinan adalah :
(1) calon suami,
(2) calon isteri,
(3) wali,
(4) saksi dan
(5) ijab kabul.
Dan kalau pada wilayah Indonesia ada tambahan yaitu catatan sipil atau
tercatat pada KUA
Yang menjadi persoalan kenapa di Indonesia terjadi banyak pernikahan
secarasirih
Menurut saya di dalam pernikahan sirih pasti ada yang di sembunyikan
Contoh bagi yang punya pasangan
syarat menikah harus mendapat ijin dari pasangannya
bagi yang mempunai tunjangan pensiun
apabila menikah lagi akan di hapus tunjangan pensiunnya
bagi seorang artis aapabila menikah sesuai dengan aturan agama dan Negara
akan dihantui namanya tidak akan populer lagi bagi warganegara asing
apabila menikah kontrak akan memakai tehnik nikah sirih dan masih banyak yang
di sembunyikan dalam nikah sirih
menurut analisa saya kenapa kita kawin sirih kalau segalanya jelas, undang
undang jelas, tujuan jelas, fasilitas jelas,
sebenarnya aturan perkawinan sirih itu diciptakan oleh yang maha kuasa
untuk kebaikan manusia tetapi apabila manusia mepolitiki aturan akan
rusaklah nasib manusia itusendiridan apabilakita jelihsangat benarlah undang
undang yang diterapakan dinegara kita dan undang itu sangat mendukung alquran
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah {179} tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan darisaksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlahsaksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian
dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu
itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (AL BAQARAH (Sapi
betina) ayat 282)
Inilah dalilnya untuk membenarkan tentang undang undang nikah di negarah
kita .
Apabila kita menjalankan aturan agama leterlux sepeti syariat di atas
bahaya sekali undang undangyang disahkan oleh para ulama kita.
Semoga bermanfaat
Silahkan dinikmati koleksi video saya tentang tata cara
pernikahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar