Puasa
Sunnah dalam Setahun
Oleh:
Muhammad Abduh Tuasikal
Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di
antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut, “Setiap amalan
kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh
kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku.
Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat
dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua
kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika
berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat
melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat
meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun
al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah
mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya
yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan
untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.
Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
Pada kesempatan kali ini, Buletin At Tauhid mencoba
mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbagai
amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika
amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747.
Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan
berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah
no. 1739. Shahih)
Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada
hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah, “Apakah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah
menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau
melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada
hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan
Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari
ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak
bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan). Dari Abu
Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka
berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR.
Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
Puasa Daud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang
paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam,
dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka
sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan
sehari tidak. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaiminrahimahullah mengatakan,
“Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa
sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai
membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan
sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat,
di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak
melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak
memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”[3]
Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan
yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim
no. 1156). Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan
seluruh harinya[4]) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[5] Para
ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak
disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[6]
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan
Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini
(yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula
jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula
jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan
hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At
Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan
sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada
amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al
Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[7] Di antara amalan yang dianjurkan di awal
Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada
sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga
hari setiap bulannya[8], …” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9
Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa
‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab,
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no.
1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa
‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman
susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah-
menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk
berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[9]
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10
Muharram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di
akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun
diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah
untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata
bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan
puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada
saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang
diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila
tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula
pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun
depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu
meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh
berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama
tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka
niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia
berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan
bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau
berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada
hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah
berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun
berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim,
“Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum
waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa
sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh
menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah
diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin
memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat
dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi
mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk
tetap menyempurnakan puasa tersebut.[10]
Ketiga: Seorang
istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan
seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan
suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim
no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat
dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan
istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh
istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[11]
Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami
bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi
istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”[12]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar